Selagi berada di Kalimantan Tengah, tentu saya tidak mungkin
kehilangan moment-moment penting mengenai adat dan upacaranya. Kebetulan
Tiwah menjadi suatu upacara yang unik bagi kita pendatang ketika berada
di tanah Tambun Bungai ini. Tiwah merupakan upacara terakhir dari
rentetan upacara kematian bagi pemeluk agama Hindu Kaharingan. Upacara
Tiwah digelar dan dilaksanakan oleh keluarga (Dayak) yang masih hidup
untuk anggota keluarganya yang telah meninggal dunia. Hampir sedikit
banyak mirip dengan upacara adat Tana Toraja di Sulawesi Selatan.
Agama Kaharingan merupakan satu-satunya keyakinan bagi suku Dayak
pada jaman dahulu yang masih dilesatarikan hingga saat ini, menurut saya
Kaharingan lebih cenderung pada keyakinan animisme dinamisme, hanya
karena Indonesia mengenal 5 jenis agama pada jaman orde baru, sehingga
orang-orang Kaharingan (agar mendapat KTP secara kependudukan)
dikategorikan ke dalam agama Hindu. Dewasa ini, banyak orang Dayak
Kaharingan yang beralih menjadi Kristen dan Islam, namun aktivitas adat
tiwah ini masih dilakukan oleh mereka sebagai suatu kewajiban adat nenek
moyang turun temurun.
Kata Tiwah berasal dari bahasa Sangiang, yaitu bahasa yang digunakan
oleh Kaharingan di Kalimantan Tengah. Bahasa Sangiang biasanya digunakan
oleh pemimpin agama Kaharingan untuk memimpin suatu acara keagamaan.
Upacara Tiwah menurut masyarakat Kalimantan Tengah pada umumnya
menganggap ritual ini sebuah adat, tetapi menurut masyarakat pemeluk
Kaharingan, tiwah merupakan proses mengantarkan arwah atau dalam bahasa
Dayaknya liau ke surga atau “Lewu Tatau Habaras Bulau Hagusung Intan
Dia Rumpang Tulang”, yang berarti sebuah tempat yang kekal atau abadi
dan tempat itu berhiaskan emas, permata, berlian, dll.
Upacara Tiwah dipimpin oleh Basir atau Pisur. Istilah Basir dipakai
di daerah Kahayan sedangkan Pisur di daerah Katingan. Pada umumnya
upacara yang di pimpin oleh Basir relatif lebih lama berkisar 2 bulan
dari pada upacara yang di pimping oleh Pisur.
Dalam kepercayaan Dayak Kaharingan, roh manusia yang meninggal tidak
akan kembali dan bersatu dengan penciptanya tanpa melalui Upacara Tiwah.
Hal ini yang membuat keluarga yang masih hidup terbebani untuk
menjalankan ritual ini untuk keluarga mereka. Beberapa meyakini bahwa
jika tidak meniwahkan keluarganya yang telah di kubur maka kehidupan
mereka yang masih hidup akan miskin rejeki dan penuh masalah.
Dalam pelaksanaannya banyak sekali urutan upacara yang harus
dilakukan oleh pelaksana dan para anggota pendukung upacaranya. Upacara
ini dapat dikatakan terdapat unsur-unsur supranatural karena memang
upacara ini adalah mempersatukan roh, oleh sebab itu urutan dalam
pelaksanaannya tidak boleh diubah sekehendak hati namun harus sesuai
dengan aturan upacara yang sudah ada dan tertulis.Upacara Tiwah pada
umumnya dilakukan 5 tahun sekali, tetapi sesuai dengan kesepakan
keluarga yang hendak melakukan upacara Tiwah. Tiwah harus dilaksanakan
karena sebagai rasa tanggung jawab kepada arwah dan bertujuan untuk
mengantarkan si arwah ke Lewu Tatau (surga).
Liau atau arwah disini di bagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Balawang Panjang, contohnya seperti: rambut atau kuku.
2. Karahang Tulang, contohnya: tulang belulang.
3. Liau Haring Kaharingan adalah arwah atau roh yang sebenarnya.
Pada seorang Dayak Ngaju mati, ritual pertama yang dilakukan adalah
Mangubur, yaitu menghantar mayat ke tempat pekuburan yang dalam bahasa
Dayak Ngaju dibahasakan sebagai Bukit Pasahan Raung (Bukit Tempat
Meletakan Peti Mati). Pada ritual ini hamper sama dengan penguburan
masyarakat Indonesia pada umumnya. Kemudian Tantulak Ambun Rutas Matei
yang bertujuan untuk menghantar Liau balawang panjang ganan bereng ke
tempat yang bernama Lewu Balo Indu Rangkang Penyang. Ini adalah tempat
penantian sementara yang konon terletak di pada tahapan ketiga dari
Sorga. Upacara yang terakhir adalah Tiwah yaitu menyatukan kembali
ketiga roh tadi dan menghantarkannya ke Sorga yang dikenal dengan Lewu
Tatau
Aktivitas Tiwah memang sangat unik, keluarga menggali kembali kubur
keluarga yang telah lama meninggal, membuka kembali petinya dan
mengambil satu persatu tulang belulang. Tulang belulang tersebut
kemudian di cuci dan dibawa ke upacara. Kegiatan upacara ini memakan
waktu yang cukup lama, termasuk ritual mengorbankan Kerbau, Babi dan
Ayam. Mereka meyakini bahwa hewan yang dikorbankan tersebut akan
membantu/melayani sang arwah menuju Surga terakhir. Pada akhirnya tulang
belulang tersebut dimasukkan ke dalam Sandung. Biasanya dalam satu
keluarga memiliki satu Sandung yang disediakan untuk berbagai
tulang-belulang yang telah di tiwahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar