Senin, 22 Oktober 2012

UPACARA TIWAH

Selagi berada di Kalimantan Tengah, tentu saya tidak mungkin kehilangan moment-moment penting mengenai adat dan upacaranya. Kebetulan Tiwah menjadi suatu upacara yang unik bagi kita pendatang ketika berada di tanah Tambun Bungai ini. Tiwah merupakan upacara terakhir dari rentetan upacara kematian bagi pemeluk agama Hindu Kaharingan. Upacara Tiwah digelar dan dilaksanakan oleh keluarga (Dayak) yang masih hidup  untuk anggota keluarganya yang telah meninggal dunia. Hampir sedikit banyak mirip dengan upacara adat Tana Toraja di Sulawesi Selatan.
Agama Kaharingan merupakan satu-satunya keyakinan bagi suku Dayak pada jaman dahulu yang masih dilesatarikan hingga saat ini, menurut saya Kaharingan lebih cenderung pada keyakinan animisme dinamisme, hanya karena Indonesia mengenal 5 jenis agama pada jaman orde baru, sehingga orang-orang Kaharingan (agar mendapat KTP secara kependudukan) dikategorikan ke dalam agama Hindu. Dewasa ini, banyak orang Dayak Kaharingan yang beralih menjadi Kristen dan Islam, namun aktivitas adat tiwah ini masih dilakukan oleh mereka sebagai suatu kewajiban adat nenek moyang turun temurun.
Kata Tiwah berasal dari bahasa Sangiang, yaitu bahasa yang digunakan oleh Kaharingan di Kalimantan Tengah. Bahasa Sangiang biasanya digunakan oleh pemimpin  agama Kaharingan untuk memimpin suatu acara keagamaan. Upacara Tiwah menurut masyarakat Kalimantan Tengah pada umumnya menganggap ritual ini sebuah adat, tetapi menurut masyarakat pemeluk Kaharingan, tiwah merupakan proses mengantarkan arwah atau dalam bahasa Dayaknya liau ke surga atau  “Lewu Tatau Habaras Bulau Hagusung Intan Dia Rumpang Tulang”, yang berarti sebuah tempat yang kekal atau abadi dan tempat itu berhiaskan emas, permata, berlian, dll.

basir, pemimpin upacara tiwah (c) Tira Maya Maisesa
basir, pemimpin upacara tiwah (c) Tira Maya Maisesa
Upacara Tiwah dipimpin oleh Basir atau Pisur. Istilah Basir dipakai di daerah Kahayan sedangkan Pisur di daerah Katingan. Pada umumnya upacara yang di pimpin oleh Basir relatif  lebih lama berkisar 2 bulan  dari pada upacara yang di pimping oleh Pisur.
Dalam kepercayaan Dayak Kaharingan, roh manusia yang meninggal tidak akan kembali dan bersatu dengan penciptanya tanpa melalui Upacara Tiwah. Hal ini yang membuat keluarga yang masih hidup terbebani untuk menjalankan ritual ini untuk keluarga mereka. Beberapa meyakini bahwa jika tidak meniwahkan keluarganya yang telah di kubur maka kehidupan mereka yang masih hidup akan miskin rejeki dan penuh masalah.
Dalam pelaksanaannya banyak sekali urutan upacara yang harus dilakukan oleh pelaksana dan para anggota pendukung upacaranya. Upacara ini dapat dikatakan terdapat unsur-unsur supranatural karena memang upacara ini adalah mempersatukan roh, oleh sebab itu urutan dalam pelaksanaannya tidak boleh diubah sekehendak hati namun harus sesuai dengan aturan upacara yang sudah ada dan tertulis.Upacara Tiwah pada umumnya dilakukan 5 tahun sekali, tetapi sesuai dengan kesepakan keluarga yang hendak melakukan upacara Tiwah. Tiwah harus dilaksanakan karena sebagai rasa tanggung jawab kepada arwah dan bertujuan untuk mengantarkan si arwah ke Lewu Tatau (surga).
Liau atau arwah disini di bagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1.    Balawang Panjang, contohnya seperti: rambut atau kuku.
2.    Karahang Tulang, contohnya: tulang belulang.
3.    Liau Haring Kaharingan adalah arwah atau roh yang sebenarnya.


cuci tulang6
seorang ibu mencuci tulang tengkorak putrinya (c) Tira Maya Maisesa

Pada seorang Dayak Ngaju mati, ritual pertama yang dilakukan adalah Mangubur, yaitu menghantar mayat ke tempat pekuburan yang dalam bahasa Dayak Ngaju dibahasakan sebagai Bukit Pasahan Raung (Bukit Tempat Meletakan Peti Mati). Pada ritual ini hamper sama dengan penguburan masyarakat Indonesia pada umumnya. Kemudian Tantulak Ambun Rutas Matei yang bertujuan untuk menghantar Liau balawang panjang ganan bereng ke tempat yang bernama Lewu Balo Indu Rangkang Penyang. Ini adalah tempat penantian sementara yang konon terletak di pada tahapan ketiga dari Sorga. Upacara yang terakhir adalah Tiwah yaitu menyatukan kembali ketiga roh tadi dan menghantarkannya ke Sorga yang dikenal dengan Lewu Tatau

bongkar3..serem

Membongkar kubur untuk di tiwahkan (c) Tira Maya Maisesa

Aktivitas Tiwah memang sangat unik, keluarga menggali kembali kubur keluarga yang telah lama meninggal, membuka kembali petinya dan mengambil satu persatu tulang belulang. Tulang belulang tersebut kemudian di cuci dan dibawa ke upacara. Kegiatan upacara ini memakan waktu yang cukup lama, termasuk ritual mengorbankan Kerbau, Babi dan Ayam. Mereka meyakini bahwa hewan yang dikorbankan tersebut akan membantu/melayani sang arwah menuju Surga terakhir. Pada akhirnya tulang belulang tersebut dimasukkan ke dalam Sandung. Biasanya dalam satu keluarga memiliki satu Sandung yang disediakan untuk berbagai tulang-belulang yang telah di tiwahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar