Selasa, 23 Oktober 2012

MANAJAH ANTANG

 
Kekuatan Supranatural Suku Dayak Manajah Antang

Satu kekuatan supranatural suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Manajah Antang, tradisi ini telah berlangsung sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Manajah Antangdigunakan untuk meminta petunjuk roh leluhur. Burung Antang adalah sebutan lain dari burung Elang, namun yang dipanggil terse but bukanlah Elang sembarangan, karena diyakinibisa memberikan arah dan petunjuk letak keberadaan orang yang dicari. Seorang Pisur (orang yang bertugas dalam ritual maupun u pacara adat dalam agama Kaharingan) ditunjukuntuk memimpin ritual adat suku Dayak ini.Pisur Adat Samkurnadi atau Bapak Eluh mengenakan Lawung Bahandang (sejenis penutup kepala bewarna merah) yang diselipi ekor burung Tingang (burung endemik Kalimantan ya ngdikeramatkan). Di depan pria paruh baya ini telah terhampar sesaji alat kelengkapan ritual seperti Baram (sejenis tuak), Tamb ak Hambaruan, Sipa, rokok kretek, dupa, ayam dandarahnya serta sebuah gelas berisi beras yang di atasnya menancap ekor burung Tingang. Di ekor burung Tingang ini melingkar s ebuah cincin emas bernama Singa Hambaruan. TanganSamkurnadi memegang sebuah gelas berisi beras, lalu Pisur ini mulai membaca mantra dan menghitung angka dalam logat Dayak Ngaju yang kental, kemudian menaburkan beras kebeberapa arah empat penjuru mata angin, untuk mengundang roh leluhur datang ke tempat lokasi ritual adat Manajah Antang d ilaksanakan. Sejumlah bambu yang atasnya masihbercabang tampak pula ditancapkan ke sejumlah arah. Bila burung Antang datang, dia akan terbang di atas atau bertengger disal ah satu bambu itu, hal demikian menandakan arahtempat orang yang akan dicari.Suku Dayak percaya bahwa tradisi ritual adat Manajah Antang mampu menunjukkan letak keberadaan orang yang dicari. Menurut Samkurna di terdapat cerita yang dipercaya pernahterjadi beberapa ratus tahun silam, konon leluhur suku Dayak ada yang menjelma menjadi Ant ang Patahu. Antang Patahu adalah Elang Gaib penjaga wilayah suku Dayak di KalimantanTengah. Saat berada dalam situasi tertentu maupun dalam keadaan genting, Elang penjaga ini bisa dipanggil untuk memberikan pe tunjuk kepada warga Dayak yang membutuhkanpertolongan.


Senin, 22 Oktober 2012

MANDAU, SENJATA TRADISIONAL KHAS KALIMANTAN

Kalimantan adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya pulau ini tidak hanya merupakan “daerah asal” orang Dayak semata karena di sana ada orang Banjar (Kalimantan Selatan) dan orang Melayu. Dan, di kalangan orang Dayak sendiri satu dengan lainnya menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri. Dengan perkataan lain, kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh Dayak-Iban tidak sama persis dengan kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya. Namun demikian, satu dengan lainnya mengenal atau memiliki senjata khas Dayak yang disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun ia pergi mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jatidiri). Sebagai catatan, dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara.

Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat kampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya sebagian digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.

Struktur Mandau
1. Bilah Mandau
Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk pipih-panjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu.

Pembuatan bilah mandau diawali dengan membuat bara api di dalam sebuah tungku untuk memuaikan besi. Kayu yang digunakan untuk membuat bara api adalah kayu ulin. Jenis kayu ini dipilih karena dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh diatasnya agar memuai. Kemudian, ditempa dengan menggunakan palu. Penempaan dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkan. Setelah bilah terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat hiasan berupa lekukan dan gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon, pada zaman dahulu banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara membuat bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda.

2. Gagang (Hulu Mandau)
Gagang (hulu mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti: kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.

3. Sarung Mandau.
Sarung mandau (kumpang) biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan.

Nilai Budaya
Pembuatan mandau, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah dan sarat makna.

UPACARA TIWAH

Selagi berada di Kalimantan Tengah, tentu saya tidak mungkin kehilangan moment-moment penting mengenai adat dan upacaranya. Kebetulan Tiwah menjadi suatu upacara yang unik bagi kita pendatang ketika berada di tanah Tambun Bungai ini. Tiwah merupakan upacara terakhir dari rentetan upacara kematian bagi pemeluk agama Hindu Kaharingan. Upacara Tiwah digelar dan dilaksanakan oleh keluarga (Dayak) yang masih hidup  untuk anggota keluarganya yang telah meninggal dunia. Hampir sedikit banyak mirip dengan upacara adat Tana Toraja di Sulawesi Selatan.
Agama Kaharingan merupakan satu-satunya keyakinan bagi suku Dayak pada jaman dahulu yang masih dilesatarikan hingga saat ini, menurut saya Kaharingan lebih cenderung pada keyakinan animisme dinamisme, hanya karena Indonesia mengenal 5 jenis agama pada jaman orde baru, sehingga orang-orang Kaharingan (agar mendapat KTP secara kependudukan) dikategorikan ke dalam agama Hindu. Dewasa ini, banyak orang Dayak Kaharingan yang beralih menjadi Kristen dan Islam, namun aktivitas adat tiwah ini masih dilakukan oleh mereka sebagai suatu kewajiban adat nenek moyang turun temurun.
Kata Tiwah berasal dari bahasa Sangiang, yaitu bahasa yang digunakan oleh Kaharingan di Kalimantan Tengah. Bahasa Sangiang biasanya digunakan oleh pemimpin  agama Kaharingan untuk memimpin suatu acara keagamaan. Upacara Tiwah menurut masyarakat Kalimantan Tengah pada umumnya menganggap ritual ini sebuah adat, tetapi menurut masyarakat pemeluk Kaharingan, tiwah merupakan proses mengantarkan arwah atau dalam bahasa Dayaknya liau ke surga atau  “Lewu Tatau Habaras Bulau Hagusung Intan Dia Rumpang Tulang”, yang berarti sebuah tempat yang kekal atau abadi dan tempat itu berhiaskan emas, permata, berlian, dll.

basir, pemimpin upacara tiwah (c) Tira Maya Maisesa
basir, pemimpin upacara tiwah (c) Tira Maya Maisesa
Upacara Tiwah dipimpin oleh Basir atau Pisur. Istilah Basir dipakai di daerah Kahayan sedangkan Pisur di daerah Katingan. Pada umumnya upacara yang di pimpin oleh Basir relatif  lebih lama berkisar 2 bulan  dari pada upacara yang di pimping oleh Pisur.
Dalam kepercayaan Dayak Kaharingan, roh manusia yang meninggal tidak akan kembali dan bersatu dengan penciptanya tanpa melalui Upacara Tiwah. Hal ini yang membuat keluarga yang masih hidup terbebani untuk menjalankan ritual ini untuk keluarga mereka. Beberapa meyakini bahwa jika tidak meniwahkan keluarganya yang telah di kubur maka kehidupan mereka yang masih hidup akan miskin rejeki dan penuh masalah.
Dalam pelaksanaannya banyak sekali urutan upacara yang harus dilakukan oleh pelaksana dan para anggota pendukung upacaranya. Upacara ini dapat dikatakan terdapat unsur-unsur supranatural karena memang upacara ini adalah mempersatukan roh, oleh sebab itu urutan dalam pelaksanaannya tidak boleh diubah sekehendak hati namun harus sesuai dengan aturan upacara yang sudah ada dan tertulis.Upacara Tiwah pada umumnya dilakukan 5 tahun sekali, tetapi sesuai dengan kesepakan keluarga yang hendak melakukan upacara Tiwah. Tiwah harus dilaksanakan karena sebagai rasa tanggung jawab kepada arwah dan bertujuan untuk mengantarkan si arwah ke Lewu Tatau (surga).
Liau atau arwah disini di bagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1.    Balawang Panjang, contohnya seperti: rambut atau kuku.
2.    Karahang Tulang, contohnya: tulang belulang.
3.    Liau Haring Kaharingan adalah arwah atau roh yang sebenarnya.


cuci tulang6
seorang ibu mencuci tulang tengkorak putrinya (c) Tira Maya Maisesa

Pada seorang Dayak Ngaju mati, ritual pertama yang dilakukan adalah Mangubur, yaitu menghantar mayat ke tempat pekuburan yang dalam bahasa Dayak Ngaju dibahasakan sebagai Bukit Pasahan Raung (Bukit Tempat Meletakan Peti Mati). Pada ritual ini hamper sama dengan penguburan masyarakat Indonesia pada umumnya. Kemudian Tantulak Ambun Rutas Matei yang bertujuan untuk menghantar Liau balawang panjang ganan bereng ke tempat yang bernama Lewu Balo Indu Rangkang Penyang. Ini adalah tempat penantian sementara yang konon terletak di pada tahapan ketiga dari Sorga. Upacara yang terakhir adalah Tiwah yaitu menyatukan kembali ketiga roh tadi dan menghantarkannya ke Sorga yang dikenal dengan Lewu Tatau

bongkar3..serem

Membongkar kubur untuk di tiwahkan (c) Tira Maya Maisesa

Aktivitas Tiwah memang sangat unik, keluarga menggali kembali kubur keluarga yang telah lama meninggal, membuka kembali petinya dan mengambil satu persatu tulang belulang. Tulang belulang tersebut kemudian di cuci dan dibawa ke upacara. Kegiatan upacara ini memakan waktu yang cukup lama, termasuk ritual mengorbankan Kerbau, Babi dan Ayam. Mereka meyakini bahwa hewan yang dikorbankan tersebut akan membantu/melayani sang arwah menuju Surga terakhir. Pada akhirnya tulang belulang tersebut dimasukkan ke dalam Sandung. Biasanya dalam satu keluarga memiliki satu Sandung yang disediakan untuk berbagai tulang-belulang yang telah di tiwahkan.

Jumat, 19 Oktober 2012

TARI MANASAI KHAS KALIMANTAN

Pulau Kalimantan ternyata memiliki berbagai macam tradisi, adat-istiadat, kesenian, tari-tarian dan berbagai macam ritual yang melekat dan erat dengan kehidupan masyarakat sehari-harinya. Semua kegiatan tersebut akan mengundang decak kagum bagi orang-orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini. Tidak heran banyak juga orang asing yang melancong ke sana untuk sekedar berlibur atau yang menetap untuk sementara waktu melakukan penelitian atau observasi tentang kehidupan masyarakat sehari-hari.

Salah satu tari-tarian yang cukup dikenal adalah tari manasai. Tari ini merupakan tari yang melambangkan kegembiraan. Tari ini biasanya juga diadakan untuk menyambut tamu-tamu pemerintahan yang ke sana. Intinya tarian “selamat datang” untuk tamu-tamu yang berkunjung ke Kalimantan. Tari ini juga biasanya dipentaskan pada acara festival budaya Isen Mulang yaitu acara tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dan dibantu oleh dinas pariwisata dan dinas-dinas yang terkait, tujuannya adalah menarik minat wisatawan untuk berkunjung serta memperkenalkan dan melestarikan budaya daerah sehingga masyarakat luar juga mengetahui budaya dari daerah lain. Hal tersebut akan memperkaya budaya nasional bangsa kita.

Tari manasai selain dipentaskan pada festival budaya jug dapat ditemuai pada keseharian kehidupan masyarakatnya. Dalam acara pernikahan adat, misalnya. Tari manasai biasanya digemari oleh kalangan muda sampai kalangan tua. Penari biasanya mengelilingi beberapa guci ukuran besar yang di lingkari dengan kain bahalai. Para penari akan menari dengan gemah gemulai mengelilingi guci-guci tersebut selama beberapa putaran dengan di iringi lagu karungut. Penari akan berhenti sampai lagu karungut yang di putar selesai. Sambil menari biasanya ada satu orang yang memberi segelas “baram” (minuman memabukkan di Kalimantan) kepada setiap penari. Tentunya kepada yang tidak terbiasa minuman ini akan menimbulkan pusing kepala dan dapat mabuk olehnya.

Perlengkapan tari manasai biasanya baju adat, bahalai (selendang), kain yang diikatkan mengelilingi kepala kemudian di sisipi Bulu Burung Tingang (Bulu Burung Engrang). Kesemua itu sebagai pelengkap dalam tari manasai. Kesemua itu memiliki arti tersendiri bagi yang mengerti terutama para tetua adat, namun saya tidak begitu mengerti akan arti-arti dari semua perlengkapan yang dikenankan walaupun saya tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga dayak. Ini kurangnya kesadaran sebagai generasi muda untuk belajar dan menggali lebih lagi tentang kebudayaannya sendiri termasuk saya orangnya.

Namun walaupun begitu tidak semua pemuda dan pemudi yang tidak peduli akan hal tersebut. Buktinya masih banyak sanggar-sanggar tari bermunculan dan banyak yang hendak belajar tentang tari-tarian daerah. Ini menandakan bahwa masih ada yang peduli akan potensi-potensi yang ada di daerah dan perlu dikembangkan lagi agar tidak sampai hilang di telan arus zaman modernisasi. Menurut saya keduanya harus berjalan beriringan. Artinya sambil menjaga warisan nenek moyang dulu, kita juga tidak menutup mata akan hadirnya era teknologi dan informasi yang ada sekarang. Bahkan kita dapat memanfaatkan arus teknologi dan informasi untuk menunjang pengembangan kesenian yang ada di daerah-daerah. Jangan sampai kesenian daerah tenggelam karena modernisasi, hal tersebut yang justru terbalik dan salah. Ini kembali lagi kepada generasi mudanya bagaimana kita dapat menjaga warisan nenek moyang dulu sehingga dari generasi ke generasi hal tersebut tetap ada dan dapat kita lihat sampai sekarang bahkan masa-masa yang akan datang.

SANGGAR TARI RIAK NYALONG




Sanggar Tari “Riak Nyalong” Kuala Kapuas dipercaya kembali untuk tampil pada even tari internasional. Kali ini mereka akan menyemarakkan “World Dance Day” di kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 29 April 2011.Kita semua mengetahui bahwa “Riak Nyalong” telah mengharumkan nama Provinsi Kalimantan Tengah pada Lanjong Art Festival 2011 yang digelar tanggal 5-13 Februari 2011 di kota Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.  Pada saat itu Riak Nyalong sukses besar  menyabet dua gelar juara, yakni  Tari Kontemporer Terbaik serta Penata Rias dan Busana Terbaik. Dalam ajang yang berlangsung ketat ini penjurian dilakukan oleh para juri internasional, terdiri dari Rianto (Jakarta), Natsuki Hayashi (Jepang), Nicole Legette (Chicago, Amerika Serikat), serta Fitri Setyaningsih (Jogjakarta).Karena prestasi inilah maka kita yakin Riak Nyalong akan kembali mengibarkan bendera Kabupaten Kapuas dan Provinsi Kalimantan Tengah di ajang internasional. Selamat berjuang dan sukses selalu.ekedar flashback, pada tahun 1982, UNESCO mencanangkan tanggal 29 April sebagai “World Dance Day” dan setiap tahun insan tari di seluruh dunia memperingatinya dengan berbagai aktivitas tari. Kesuksesan Institus Seni Indonesia (ISI) Surakarta tahun 2007, 2008, 2009 dan kerjasama ISI Surakarta dengan Pemerintah Kota Surakarta sebagai pelaksana peringatan Hari Tari Dunia tahun 2010 dengan tema “SOLO 24 JAM MENARI”, mendorong semua pendukung acara, institusi, panitia, performer, penonton dan kritikus tari sepakat bahwa even World Dance Day setiap tanggal 29 April dijadikan even besar dunia tari di Indonesia.Keikut-sertaan “RIAK NYALONG” dalam World Dance Day 2011 dengan tema “Go Out to Dance for Harmony” (Excellent Persona, Excellent Community) ini adalah berkat prestasi sebelumnya di Lanjong Art Festival sehingga mereka diundang secara khusus untuk memeriahkan gelar spektakuler “SOLO 24 JAM MENARI.Dalam World Dance Day tahun 2011 di Surakarta didukung oleh sanggar tari di kota Solo, Sekolah-sekolah (SD, SMP, SMA, SMK, guru tari) kota Solo, Dinas Pariwisata kota Surakarta, DIKPORA Kota Surakarta, Kraton Kasunanan Surakarta, Kraton Kasultanan Yogyakarta, Pura Pakualaman Yogyakarta, Pura Mangkunegaran Surakarta, RRI Surakarta, Wayang Orang Sriwedari, seluruh civitas akademika ISI Surakarta, Perguruan Tinggi dan Perguruan Tinggi Seni di Indonesia, Pemerintah Daerah (Jawa Timur, Jawa Barat, DIY, Sumatra Barat, Kalimantan Timur, Papua, Lampung, DKI Jakarta, Bali, Sumbawa, Semarang, Pekan Baru, Sumatera Selatan), serta peserta dari luar negeri (Singapura, Malaysia, Bunei, Jepang, Taiwan, Korea). Kesemuanya akan bersama dalam GELAR SOLO 24 JAM MENARI.Dalam menerjunkan diri pada Gelar “Solo 24 Jam Menari” 2011, Sanggar Riak Nyalong Kuala Kapuas berangkat dengan membawa 17 orang personil. Riak Nyalong akan menampilkan 2 (dua) buah tarian yaitu tari tradisional berjudul “Lontung Batuah” dan tarian pesisir “Nurun alan Nur”.  Tim dipimpin langsung oleh Ketua Sanggar Ragus Rumbang, S, Pd, M.Pd dan sekretaris Dessy Krisnatalia.

Selasa, 16 Oktober 2012

FESTIVAL BUDAYA ISEN MULANG KALIMANTAN TENGAH

Festival Budaya Isen Mulang merupakan festival kebudayaan Dayak yang dilaksanakan setiap tahun (19—24 Mei) dalam rangkaian peringatan Hari Ulang Tahun Provinsi Kalimantan Tengah. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangkaian festival ini, antara lain, pertandingan sepak sawut (sepak bola api), lomba jukung hias, lomba manyipet (menyumpit), dan pemi­lihan duta wisata. Festival ini dilaksanakan di Kota Palangkaraya dan diikuti oleh seluruh kabupaten/kota se-Kalimantan Tengah. Festival Budaya Buntok Kabupaten Barito Selatan juga memiliki kegiatan yang dinamakan Festival Budaya Buntok. Festival ini diselenggarakan dalam rang­ka Hari Ulang Tahun Kabupaten Barito Selatan, diseleng­ga­rakan setiap tanggal 15-20 September. Festival Seni dan Budaya Tamiang Layang Festival Seni dan Budaya Tamiang Layang ini menampilkan kesenian dan kebudayaan daerah Barito Timur, di antaranya permainan tradisional masyarakat Barito Timur. Kegiatan ini dilaksanakan di Kota Tamiang Layang, Kabupaten Barito Timur, setiap awal bulan April. Festival Seni dan Budaya Habaring Hurung Festival Seni dan Budaya Habaring Hurung diselenggarakan untuk menyambut Hari Ulang Tahun Kabupaten Kotawaringin Timur. Kegiatan ini digelar selama beberapa hari, 1—7 Januari, diadakan di Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, dengan menyajikan berbagai jenis lomba dan kegiatan kesenian daerah Kabupaten Kotawaringin Timur. Mandi Shafar Arba’ Musta’mir Ritual mandi bersama di Sungai Mentaya yang dilakukan masya­rakat Kotawaringin Timur ini dilaksanakan setiap hari Rabu ter­akhir di bulan Shafar, di Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur. Festival Ayun Anak Festival ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Maulud Nabi Muhammad saw pada Bulan Rabiulawal, di Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur. Pekan Budaya Daerah Gawi Berijam Pekan Budaya Gawi Berijam merupakan rangkaian perlombaan permainan tradisional masyarakat Dayak. Jenis-jenis kegiatan yang dilombakan, antara lain, dayung, kayu hantu, sepak bola api, kelotok hias, ujang dan aluh, lomba masak, bagasing, balogo, menyumpit, menebang kayu, layang-layang, berbalas pantun, dan menangkap ikan. Kegiatan ini dilaksanakan setiap tanggal 26 Maret sampai dengan 1 April, di Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur. Tiwah Massal Acara Puncak Tiwah Tabuh 1-2, diadakan secara bergantian di setiap kecamatan. Dalam acara ini paling sedikit ada tiga puluh keluarga yang melakukan Tiwah. Kegiatan ini dilaksanakan setiap tanggl 18 Juli, hampir diseluruh wilayah Kalimantan Tengah. Mamapas Lewu dan Pakanan Sahur Mamapas Lewu dan Pakanan Sahur merupakan upacara pembersihan kampung halaman dari bala dan marabahaya yang dilaksanakan oleh masyarakat Kotawaringin Timur. Upacara ini digelar setiap pertengahan bulan September di Kabupaten Kotawaringin Timur. Simah Laut Ritual yang dilakukan oleh masyarakat nelayan Ujung Pandaran ini dilaksanakan setiap bulan Desember bertempat di Pantai Ujung Pandaran, Kabupaten Kotawaringin Timur. Festival Mangkikit Festival tahunan yang diselenggarakan dalam rangka memper­ingati Hari Ulang Tahun Kabupaten Katingan (Desember) ini menampilkan bermacam seni tradisional masyarakat Kabupaten Katingan. Di samping acara kesenian, dilaksanakan pula wisata petualangan yang berupa arung jeram di Riam Mangkikit. Upacara Laluhan Upacara Laluhan diselenggarakan setiap tanggal 21 Maret dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kabupaten Kapuas. Festival Jukung Hias Festival Jukung Hias adalah memperlombakan keindahan perahu tradisional (jukung) yang dihias dengan kreasi khas Kalimantan Tengah. Kegiatan ini dilaksanakan setiap bulan Agustus, di Kabupaten Pulang Pisau. Sukamara Fair Festival budaya tahunan yang memperlombakan kesenian tradisional Kabupaten Sukamara ini dilaksanakan setiap bulan Juli sampai Agustus di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah. Pekan Budaya Bumi Gawi Barinjam Festival budaya tahunan ini memperlombakan sepak bola api, kelotok hias, lomba memasak, bagasing, balogo, manyumpit, menebang kayu, dan kesenian-kesenian tradisional lainnya. Kegiatan ini dilaksanakan setiap akhir Maret sampai awal April di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah.